
Oleh: Fais Adam, Ketua Umum DPP LPK-RI
Perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan bukan sekadar jargon atau wacana normatif. Ini adalah amanat konstitusional sekaligus komitmen nyata negara dalam menciptakan keadilan bagi setiap warga negara dalam relasi hukum dengan lembaga keuangan. Salah satu regulasi penting yang menegaskan hal ini adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2023 Tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, khususnya Pasal 47, yang menjadi perhatian utama kami di Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia (LPK-RI).
Pasal 47 ayat (1) POJK 22/2023 secara tegas menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) wajib memberikan akses kepada Konsumen untuk memperoleh dan/atau mencetak salinan atas dokumen perjanjian baku. Ini adalah bentuk perlindungan paling dasar namun sangat krusial. Dalam praktiknya, masih sering kami temui konsumen yang bahkan tidak memiliki dokumen perjanjian pembiayaan, kredit, atau leasing yang mereka tandatangani. Hal ini menjadi masalah serius ketika terjadi perselisihan, karena konsumen tidak memiliki bukti untuk membela hak-haknya.
Tanpa salinan perjanjian, konsumen dipaksa untuk tunduk pada ketentuan sepihak yang tidak diketahui secara rinci. Praktik ini bertentangan langsung dengan semangat keadilan kontraktual dan melanggar hak konsumen atas informasi yang benar dan jelas.
Pasal 47 ayat (2) menegaskan bahwa PUJK yang tidak memenuhi kewajiban ini dapat dikenai sanksi administratif yang sangat serius, mulai dari:
- Peringatan tertulis;
- Pembatasan atau pembekuan produk dan layanan;
- Pemberhentian pengurus;
- Denda administratif hingga Rp15 miliar;
- Hingga pencabutan izin usaha.
Pasal ini memberikan kekuatan hukum yang tegas kepada OJK untuk menindak lembaga keuangan yang tidak patuh terhadap prinsip perlindungan konsumen. Bahkan, sanksi berat seperti pembekuan usaha atau pencabutan izin dapat diberikan tanpa harus didahului peringatan tertulis, sebagaimana ditegaskan dalam ayat (3).
Sebagai Ketua Umum DPP LPK-RI, saya menyerukan dua hal penting:
- Edukasi kepada masyarakat agar mereka memahami bahwa memiliki salinan perjanjian adalah hak, bukan sekadar permintaan. Konsumen tidak perlu ragu untuk meminta dokumen tersebut, bahkan sejak awal akad ditandatangani.
- Penegakan hukum oleh OJK dan aparat penegak hukum, terutama terhadap PUJK yang masih mengabaikan kewajiban ini. Kami mendorong agar pengawasan dilakukan secara aktif dan transparan, dengan membuka ruang partisipasi publik dalam pelaporan pelanggaran.
Pasal 47 POJK 22/2023 adalah salah satu benteng hukum yang paling konkret dalam melindungi konsumen sektor keuangan. Sudah saatnya lembaga keuangan menghentikan praktik-praktik yang merugikan konsumen dan memulai hubungan yang sehat dan setara. LPK-RI akan terus berdiri di garda depan untuk mengawal tegaknya perlindungan konsumen di Indonesia.
Fais Adam
Ketua Umum DPP Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia (LPK-RI)