
Oleh: M. Fais Adam
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia (LPK-RI)
Jawa Barat, lpkri.com, 20 Maret 2025-Dalam transaksi pembiayaan, khususnya dalam perjanjian kredit untuk kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor, sering kali konsumen dihadapkan pada klausula baku yang telah disiapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, seperti leasing atau perusahaan pembiayaan. Hal ini sesuai dengan definisi klausula baku sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa:
“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Sebagai contoh, dalam praktik di lapangan, konsumen yang mengajukan pembiayaan kendaraan akan menerima berkas perjanjian yang telah disiapkan oleh perusahaan pembiayaan tanpa adanya kesempatan untuk bernegosiasi. Jika konsumen ingin memperoleh pembiayaan, ia hanya dapat menerima dan menandatangani perjanjian tersebut. Kondisi ini menempatkan konsumen dalam posisi yang kurang menguntungkan dan berpotensi melanggar hak-haknya sebagai konsumen.
Dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, ditegaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian jika mengandung ketentuan sebagai berikut:
- Mengalihkan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen.
- Menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli oleh konsumen.
- Menolak pengembalian uang yang telah dibayarkan oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dibeli.
- Memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk melakukan tindakan sepihak terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
- Mengatur pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
- Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen.
- Mewajibkan konsumen tunduk pada aturan baru, tambahan, atau perubahan sepihak dari pelaku usaha selama masa pemanfaatan jasa.
- Memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas barang yang dibeli secara angsuran oleh konsumen.
Selain itu, dalam Pasal 18 Ayat (2) ditegaskan bahwa klausula baku yang letaknya sulit terlihat, bentuknya sulit dibaca, atau pengungkapannya sulit dimengerti juga dilarang. Jika pelaku usaha tetap mencantumkan klausula baku yang melanggar ketentuan di atas, maka berdasarkan Ayat (3), klausula tersebut batal demi hukum. Artinya, klausula tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Pelaku usaha juga diwajibkan untuk menyesuaikan perjanjian atau klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (4). Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen agar tidak dirugikan dalam transaksi kredit atau pembiayaan.
Dalam membuat perjanjian kredit, pelaku usaha harus mematuhi ketentuan dan larangan yang tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, setiap perjanjian kredit harus dibuat secara adil, transparan, dan tidak merugikan konsumen.
Untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan perlindungan konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan terkait klausula baku.
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
- Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa:
a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi; d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. Pencabutan izin usaha.
Klausula baku yang disusun secara sepihak dan merugikan konsumen merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih waspada dan memahami isi perjanjian kredit sebelum menandatangani dokumen tersebut. Selain itu, lembaga perlindungan konsumen seperti LPK-RI akan terus berupaya mengawal dan memperjuangkan hak-hak konsumen agar mendapatkan perlindungan yang layak dari praktik bisnis yang tidak adil.